January 10

Toxic Positivity: Sebuah perilaku yang selalu ingin terlihat positif.

0  comments

Hello Seekler! How was 2021? Do you feel happy? Or anxiousness? Seekler pernah nggak sih denger yang namanya toxic positivity? Kita bahas bareng yuk!

Eitss, tapi sebelumnya happy new year ya all! Nggak kerasa ya sekarang sudah berada di awal 2022. Gimana Seekler memulai 2022 ini?

Apakah penuh dengan semangat dan siap memulai petualangan baru? Ataukah Seekler masih merasa berada di 2021, nih? Wah.. Ya jangan dong, sudah saatnya kita move on kan?

Minly mau tanya nih Seekler, kira-kira resolusi 2022 apa yang paling Seekler tungguin akan terwujud? Apakah dapat pekerjaan baru atau lulus sekolah dengan nilai yang baik atau justru malah belum menyusun resolusi baru nih?

It’s okay kalo sobat Seekly ini belum pada menyusun resolusi. Tapi Minly mau tanya deh, pernah nggak sih Seekler merasa melihat teman-teman di sekitar Seekler sudah pada bahagia dengan banyak pencapain barunya.

Bahkan Seekler melihat teman-teman di luar sana dengan banyak kesibukannya tapi tepat selalu terlihat produktif dan tidak kenal lelah.

Padahal kalau dipikir-pikir selama ini, Seekler juga punya banyak aktifitas, tetapi kenapa ketika melihat teman-teman yang lain banyak sibuknya malah bikin Seekler selalu merasa kurang dan harus selalu produktif.

Wahh… Apa mungkin Seekler sedang merasakan Toxic Productivity ya? Tapi, apasih Toxic Productivity itu? Yuk, kita bahas bersama dengan Minly.

toxic positivity

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity atau dikenal dengan keadaan selalu menjunjung tinggi perasaan positif tanpa melibatkan emosi dan perasaan yang valid.

Seorang pakar psikologis asal Afrika Selatan, Liana Lurie, mengatakan bahwa, “Toxic positivity pada dasarnya adalah sebuah keyakinan bahwa seseorang harus memberikan respon positif terhadap semua pengalaman, meskipun hal tersebut menyakitkan.”

Perasaan toxic positivity ini terus-menerus dibiarkan, akan berdampak banyak kepada individu yang merasakan.Toxic positivity adalah bentuk dari memaksa keadaan untuk terus menerus berpikiran positif, sehingga mengabaikan dan menolak validasi perasaan emosi yang sebenarnya.

Pada akhirnya perasaan positif yang diharapkan mampu membawa dampak positif justru menjadi bumerang untuk diri sendiri. 

Kapan kita harus mulai sadar bahwa yang kita rasakan sudah masuk ke dalam konsep toxic positivity?

Contoh kecil dari konsep toxic positivity yang seringkali kita tidak sadari adalah ketika kita memaksa diri kita selalu merasa baik-baik saja, padahal kita merasa sudah lelah dan ingin mengungkapkan perasaan sedih atau marah itu.

Kadang juga sesekali muncul pikiran seperti, “Kok dia bisa sih udah kuliah ambil 24 sks, terus kalo malem kerja, weekend ikut volunteer di luar? Beda sama aku yang kuliah 24 sks aja sering sambat dan selalu ngerasa capek. Nggapapa besok kita coba kayak dia ya.” Seekler pernah berpikiran seperti itu nggak?

Menurut salah satu dosen psikologi asal UGM, Nurul Hidayati Kusuma, M.Psi., Psikolog yang mengatakan bahwa toxic positivity muncul ketika perilaku positif ini kemudian digeneralisasikan ke dalam berbagai kejadian dan mengabaikan perasaan dan emosi negatif. Sikap positif ini kemudian tidak didengarkan, dirasakan, bahkan diakui keberadaannya.

Sebenarnya ketika seseorang memiliki pikiran positif saat menghadapi suatu peristiwa negatif, itu dibenarkan. Hanya saja ketika seseorang tersebut kemudian tidak bisa membedakan sikap positif mana yang akan menjadi bumerang kepada diri sendiri itulah yang akan membuat seseorang tersebut merasakan toxic positivity itu.

Padahal berdasarkan studi psikologis, emosi yang dirasakan setiap manusia bentuknya valid. Semua perasaan dan emosi yang kita rasakan adalah bentuk reaksi alami yang diproses di otak, tepatnya di Amigdala. 

Nah ada konsep lain yang berkebalikan dengan konsep toxic positivity, yaitu healthy positivity adalah konsep dari growth mindset. Growth mindset yang dimiliki individu, membiarkan setiap individu tersebut menerima dan merasakan setiap emosi yang dialami dari setiap peristiwa yang dirasakan. 

Cara menghindari toxic positivity agar tidak semakin menjadi bumerang untuk diri sendiri, simak tipsnya di bawah ini:

1. Menerapkan konsep mindfulness 

Konsep mindful adalah memberikan perhatian terhadap tujuan yang akan dicapai, di masa sekarang dan tidak menghakimi setiap pilihan yang akan terjadi dari waktu ke waktu. Menerapkan konsep mindful dapat membantu menghindarkan kita dari perasaan dan emosi negatif. 

2. Menumbuhkan perasaan kasihan dan empati untuk diri sendiri

Perasaan kasihan dan empati untuk diri sendiri tidak dimaksudkan untuk membuat diri sendiri menjadi  menyedihkan. Hanya saja dengan menumbuhkan perasaan ini, individu jadi lebih bisa berdamai dengan dirinya dan mampu memberikan batasan-batasan mana yang dirasa akan mengecewakan nantinya atau biasa saja. 

3. Berhenti memberikan penawaran atas emosi negatif yang kamu rasakan

Maksudnya disini adalah kamu harus tegas dengan perasaanmu sendiri. Jika kamu merasa mulai terjadi perasaan negatif dalam diri, kamu cukup menegaskan pada dirimu untuk menerima perasaan itu dengan lapang dada.

Kamu boleh memotivasi dirimu sendiri untuk tetap merasa baik-baik saja, tetapi kita sudah merasa pada batas ketidak baik-baikan itu, kamu boleh melampiaskannya dengan menangis. 

Maka ketika Seekler merasakan sesuatu yang memunculkan sebuah respon dari perasaan yang Seekler alami, biarkan emosi dan perasaan itu menggambarkan keadaanmu. Seekler tidak perlu terlalu mematok diri supaya terlihat baik-baik saja dan merasa selalu kurang dengan setiap pencapaian kalian.

Jika Seekler masih merasa kurang paham dengan konsep toxic positivity dan ingin mendapatkan jawaban lebih dalam, Seekler bisa langsung klik link seekly.id/chatmentor! We’re waiting for you, Seekler.

Seekly! Seek your potential easily!


Tags


You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}

Subscribe to our newsletter now!